Ketika saya melakukan stims seperti pasir dribbling melalui jari-jari saya, itu menenangkan saya. Ketika saya stimmed, suara yang menyakiti telinga saya berhenti. Sebagian besar anak-anak dengan autisme melakukan perilaku yang berulang-ulang karena rasanya enak dalam beberapa cara. Ini bisa menetralkan lingkungan sensorik besar, atau mengurangi tingkat kecemasan tinggi internal yang anak-anak ini biasanya rasakan setiap hari. Individu dengan autisme menunjukkan berbagai stims, mereka mungkin batu, mengepakkan, berputar diri sendiri atau barang-barang seperti koin, kecepatan, memukul diri, atau mengulangi kata-kata berulang (stims verbal). Ketika perilaku yang tidak terkendali, terjadi berlebihan dalam pengaturan yang tidak pantas, atau mencegah anak dari interaksi sosial dapat diterima, masalah ada.
Sebuah pertanyaan umum kedua orang tua dan guru bertanya kepada saya adalah: "Haruskah anak akan diizinkan untuk melakukan stims? Jawaban saya biasanya "ya dan tidak."
Aku diizinkan untuk Stim dalam privasi kamar tidur saya selama satu jam setelah makan siang dan untuk waktu singkat setelah makan malam. Sisa waktu stims tidak diperbolehkan. Stimming benar-benar dilarang di meja makan, di toko-toko, dan di gereja. Saya pikir itu adalah penting bagi anak dengan autisme untuk memiliki beberapa waktu yang dijadwalkan untuk melakukan stims secara pribadi. Ketika mereka mendapatkan lebih distimulasi, bisa membantu mereka menenangkan diri. Pada individu dengan autisme yang lebih parah, stimming dapat digunakan sebagai hadiah. Dalam beberapa individu, mereka dapat mempertahankan perhatian untuk waktu yang singkat dan kemudian perlu untuk Stim untuk memfokuskan kembali dan menyetel kembali sistem mereka.
Tiga Jenis Perilaku Repetitive
Tidak semua perilaku repetitif adalah stims, sehingga sangat penting untuk membedakan sumber balik perilaku.
- Stimming Perilaku Perilaku diri menenangkan anak dan membantunya kembali keseimbangan emosional.. Sayangnya, jika anak-anak diperbolehkan untuk Stim sepanjang hari, belajar tidak akan berlangsung karena otak anak adalah mematikan dari dunia luar. Hal ini sangat baik untuk memberikan anak waktu untuk stim tapi sisa hari, dua muda untuk lima tahun harus mendapatkan tiga sampai empat jam sehari dari satu-ke-satu kontak dengan seorang guru yang baik untuk menjaga otak anak terbuka untuk menerima informasi dan pembelajaran.
- Gerakan Involuntary Gerakan-gerakan ini dapat menyerupai stims tetapi mereka mungkin disebabkan oleh salah satu Sindrom Tourette atau kondisi yang disebut tardive dyskinesia, yang merupakan efek samping dari obat antipsikotik seperti Risperdal (risperadone), Seroquel (quetiapine) atau Abilify (aripiprazole).. Kerusakan saraf - kadang-kadang permanen - dari obat ini menyebabkan perilaku berulang-ulang. Meskipun mereka disetujui oleh FDA untuk lima-year-olds, mereka adalah pilihan yang buruk karena bahaya kerusakan saraf dan berat badan besar. Saya akan merekomendasikan mencoba diet khusus atau suplemen minyak ikan pertama.
- Meltdown Jumlah Karena Overload Sensory. Ketika ini terjadi, anak sering mengamuk sementara menunjukkan perilaku berulang seperti menendang atau mengepak. Pendekatan yang terbaik adalah untuk menempatkan anak di tempat yang tenang dan membiarkan dia tenang. Pengajaran mustahil selama meltdown. Ketika aku selesai mengamuk, ibu diam-diam mengatakan kepada saya konsekuensinya tidak ada TV malam ini dan itu.
SIAPA TEMPLE GRANDIN ??
Nama Temple Grandin memang tidak begitu terkenal di Indonesia. Namun,
di negeri asalnya, Amerika Serikat, namanya sudah sangat dikenal luas,
terutama jika dihubungkan dengan dunia autisme. Namanya pertama kali
dikenal saat kisah hidupnya diangkat ke dalam sebuah buku yang ditulis
oleh Oliver Sacks.
Buku yang berjudul ”An Anthropologist On Mars” tersebut berisi
gambaran Grandin mengenai perasaannya berada diantara orang-orang
“neurotypical”.
Ibunya berkonsultasi kepada seorang dokter yang menyarankannya agar
ia memberi putrinya itu terapi wicara. Ibunya kemudian menyewa seorang
pengasuh yang menghabiskan waktu berjam-jam bermain sambil belajar
bersama Grandin dan kakaknya.
Tidak bisa berbicara
sangat membuat saya frustasi. Jika seseorang
dewasa berbicara langsung kepada saya, saya dapat memahami apa yang
mereka katakan, tetapi saya tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang ingin
saya ucapkan. Jika saya berada dalam situasi dengan tingkat stress yang
sedikit, terkadang kata-kata tersebut akhirnya bisa keluar. Terapis
wicara saya tahu bagaimana cara masuk kedalam dunia saya. Ia akan
memegang dagu saya dan membuat saya menatap matanya dan kemudian berkata
“bola.” Pada usia tiga tahun, saya bisa mengucapkan kata “bola” dan
“bo’a” dengan tingkat stress tinggi. Jika si terapis terlalu memaksa,
saya akan mengamuk (tantrum), dan jika ia tidak mencoba masuk jauh
kedalam diri saya, maka tidak akan ada perkembangan berarti yang bisa
dicapai saat itu. Ibu dan guru saya bertanya-tanya kenapa saya
berteriak. Berteriak adalah satu-satunya cara agar saya bisa
berkomunikasi. Terkadang saya berpikir pada diri saya sendiri jika saya
akan berteriak sekarang karena saya ingin memberitahu semua orang bahwa
saya ingin melakukan sesuatu, cerita Grandin.
Pada usia empat tahun, Grandin mulai bisa berbicara dan mulai
memperlihatkan perkembangan. Grandin merasa beruntung karena saat itu ia
mendapat banyak dukungan dari para pengajar di sekolahnya dulu. Namun,
ia menyebutkan bahwa masa-masa sekolah dasar dan menengah merupakan masa
terburuk dalam hidupnya.
Ia merupakan “anak aneh” yang menjadi bahan ejekan dan lelucon
anak-anak lainnya. Ketika ia berjalan-jalan, orang-orang di jalanan akan
mengejeknya “tape recorder” karena ia selalu melakukan hal yang sama
berulang-ulang. Grandin berkata, “ Sekarang ini saya dapat tertawa saat
mengenangnya, tapi dahulu rasanya sangat menyedihkan.” Untuk membantu
perkembangan kondisinya, Grandin mengkonsumsi obat anti depresi secara
teratur dan menggunakan “squeeze-box” (mesin peluk) yang diciptakannya
pada usia 18 tahun sebagai bentuk terapi personal. Beberapa tahun
kemudian, kondisinya itu dapat dikenali dan pada usia dewasa ia di
diagnosa menyandang sindrom Asperger, yang merupakan sejenis dengan
spektrum autis.
Setelah menyelesaikan sekolahnya di Hampshire Country School di
Rindge, New Hampshire, pada tahun 1960-an, Grandin pun melanjutkan
belajar ke universitas. Dia berhasil meraih gelar sarjana jurusan
psikologi dari Franklin Pierce College pada tahun 1970, gelar master
jurusan pengetahuan binatang dari Arizona State University pada tahun
1975, dan gelar doktor atau PhD jurusan pengetahuan binatang dari
University of Illinois di Urbana Champaign pada tahun 1989. Bagi seorang
penyandang autis, prestasinya itu tentulah sangat luar biasa.
Berdasarkan pengalamannya sebagai penyandang autis, Grandin memebantu
memberikan konsultasi dalam mengenali gejala autis sejak dini. Ia juga
memberikan konsultasi kepada para guru sehingga dapat memberikan
penanganan langsung kepada anak autis dengan cara yang lebih tepat.
Grandin dianggap sebagai pemimpin filosofis bagi gerakan kesejahteraan
binatang dan konsultasi autis.
Kedua gerakan tersebut pada umumnya berhubungan dangan karya-karya
tulisnya yang bertemakan kesejahteraan binatang, neurologi, dan
filosofi. Pada tahun 2004, ia meraih penghargaan “proggy” untuk kategori
“Visionary” dari People for the Ethical Treatment of Animals.
Karya-karya tulisnya mengenai autisme yang ditulisnya dari sudut pandang
penyandang autis, sangat membantu para ahli dan dunia kedokteran dalam
membantu penanganan autis. Karya-karyanya antara lain, ”Journal of
Autism and Developmental Disorders” dan “Emergence: Labelled Autistic.”
Prestasi yang diraih Dr. Temple Grandin tersebut tentulah membuka
harapan dan menjadi pencerahan bagi para penyandang autis dan gangguan
perkembangan lainnya di seluruh dunia. Semoga di Indonesia pun akan
muncul tokoh autis dan anak berkebutuhan khusus lainnya yang bisa
membantu penanganan autis dan gangguan perkembangan lainnya di
Indonesia.
Sumber: Majalah Anak Spesial No:14 Edisi ke2 tahun ke2 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar